MENYIKAPI KHILAFIYAH
Iftitah
Sudah menjadi sunnatullah manusia diciptakan berbeda-beda baik dari
segi fisik maupun intelektual. Tidak ada di dunia ini dua orang yang
betul-betul persis sama, apalagi kalau sudah menyangkut yang namanya
pendapat maupun pikiran. Kata orang rambut boleh sama hitam,
namunisiskepala pasti beda.
Pengertian Khilafiyyah
Khilaf dan
ikhtilaf secara
harfiyah (
literally) berarti perbedaan, perselisihan, dan pertentangan.
[2] Khilafiyah
berarti masalah-masalah fiqh yang diperselisihkan, dipertentangkan,
diperdebatkan status hukumnya di kalangan ulama atau fuqaha` akibat dari
pemahaman dan penafsiran mereka terhadap nash yang masih
zhanni dilalahnya maupun hasil ijtihad dalam masalah-masalah yang belum ditunjuki nash secara langsung.
Masalah
khilafiyyah sudah ada dan muncul di zaman sahabat, jadi bukan barang baru dan aneh.
Khilafiyyah itu dalam perkembangannya semakin banyak dan meluas di kalangan umat Islam pada masa-masa berikutnya hingga zaman sekarang.
Khilafiyyah terjadi hampir dalam semua bidang, baik dalam soal politik, aqidah, tashawwuf, kalam, dan juga dalam lapangan fiqh.
Namun perlu diingatkan di sini agar tidak dikaburkan, bahwa
khilafiyyah terjadi pada wilayah-wilayah
zhanni, baik
zhhani dilalah maupun
zhanni wurud yang
memungkinkan terjadi perbedaan interpretasi, pemahaman dan pendapat
antara satu ulama dengan yang lain. Masing-masing dapat menunjukkan
sandaran hujjahnya secara cukup meyakinkan. Sementara pada persoalan (
ibadah mahdhah) yang sudah terang tidak ada sandaran hukumnya, maupun praktek ulama
salaf as-saleh, hakikatnya adalah bid’ah (
innovation) dan bukan
khilafiyyah lagi.
Khilafiyyah sebuah keniscayaan
Di dunia fiqh terdapat sebuah ungkapan, barang siapa yang tidak mengenal
khilaf
maka hakikatnya ia belum mengerti fiqh. Ini adalah sebuah ungkapan yang
tidak berlebihan dan cukup realistis. Jangankan antar madzab, sering
terjadi dalam satu madzab terdapat dua atau lebih pendapat ulama tentang
hukum suatu permasalahan. Sehingga di belakangnya ada ulama yang merasa
terpanggil untuk menentukan mana yang lebih kuat diantara
pendapat-pendapat itu. Kelompok ulama ini lazim disebut sebagai mujtahid
tarjih.
Dalam madzab Hanafi misalnya terdapat pendapat Imam Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. Ketiganya tak jarang
terlibat dalam perbedaan pendapat dalam satu masalah. Demikian pula yang
terdapat dalam madzab Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Sering dalam satu
masalah dijumpai beberapa pendapat yang berbeda-beda, ada
qaul yang dianggap masyhur dan
syadz.
Melihat fakta seperti itu, kiranya bisa ditegaskan bahwa perbedaan
pendapat pada umumnya, dan perbedaan dalam urusan fiqh pada khususnya
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak perlu dan mustahil untuk
dihilangkan. Perbedaan telah ada, saat ini juga ada dan kedepan pun
tentunya juga akan selalu ada.
Maka pemikiran ataupun seruan maupun usaha untuk menyatukan umat
Islam dalam arti satu pemahaman dan penafsiran dalam hukum agama adalah
seruan yang kurang realistis walau secara normatif patut didukung.
Dewasa ini sekelompok orang yang oleh Syekh Yusuf al-Qardhawi disindir dengan sebutan neo
Zhahiri
menyerukan atau mendakwakan diri bahwa mereka sanggup menyatukan umat
dalam satu pemahaman/pendapat asal kembali mengamalkan al-Qur`an dan
as-Sunnah yang tentu saja dipahami dan ditafsiri menurut kelompok
mereka. Mereka menolak dan bahkan menyerang keberadaan imam-imam madzab
dan para pengikutnya serta kelompok lain yang tidak seide. Mereka
mengecam taqlid (
imitation) yang dilakukan oleh orang lain,
ironisnya dalam waktu yang bersamaan mereka juga melakukan taqlid pada
ulama/ustadz yang diikutinya. Mereka mengajak meninggalkan madzab empat
namun tanpa mereka sadari bahwa pada dasarnya mereka mengajak untuk
mengikuti ‘madzab kelima’ yang diciptakan kelompoknya.
Karena perbedaan adalah sesuatu yang alamiah dan manusiawi, dengan kata lain perbedaan adalah
sunnatullah
yang tidak akan berobah dan diubah oleh sang khaliq, maka yang
diperlukan di sini sebenarnya bukan usaha untuk menyatukan ke dalam satu
pendapat, namun bagaimana menjadikan keragaman pendapat itu sebagai
‘blessing’ bagi umat dan dapat disikapi secara dewasa.
Khilafiyah Tak semestinya berujung perpecahan
Mengingat perbedaan sebagaimana disinggung di atas sebagai sebuah
keniscayaan dan sekaligus menjadi rahmat, maka tak semestinya perbedaan
itu mengantarkan kepada perselisihan dan pertengkaran maupun permusuhan
yang tercela dan terlarang.
Untuk itu sikap-sikap maupun pendirian berikut mesti diwaspadai
karena hanya akan memperkeruh dan memperuncing perbedaan yang pada
ujungnya dapat menyeret kepada permusuhan antar umat Islam yang berbeda
pendapat :
[3]
- Sikap dan anggapan merasa paling benar sendiri. Sikap ini akan
mendorong orang untuk menyalahkan atau terkadang menyesatkan kelompok
lain yang tidak sama pemahaman dengan kelompoknya. Jika hanya merasa
benar saja itu masih bisa dipahami, namun merasa paling benar mestinya
perlu dihindari. Ulama salaf sering berkomentar dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan menyatakan, “
Pendapat madzab kami benar namun mengandung kemungkinan salah, pendapat
di luar madzab kami salah namun masih mengandung kemungkinan benar”.
Jadi mereka terbiasa tidak memonopoli kebenaran dalam hal ini bagi
kelompoknya saja, namun ‘membagikannya’ juga pada kelompok lain.
- Tidak mau berdialog (tabayyun) atau klarifikasi jika ada
perbedaan pendapat dengan kelompok lain. Dialog, musyawarah, diskusi,
klarifikasi merupakan cara-cara yang bijak yang dianjurkan agama guna
melakukan tabayun atau klarifikasi serta menciptakan mutual understanding. Sebaliknya tanpa dialog orang mudah su`udhan,
memberikan label-label negatif, mengembangkan sikap curiga dan
penghakiman sepihak. Tentu hal ini akan meperuncing dan memperkeruh
keadaan. Betapa banyaknya perbedaan pendapat namun setelah keduanya
bertemu dan dijelaskan duduk satu meja ternyata hanya sebuah
kesalahpahaman, atau hanya berbeda pada hal-hal yang tidak substansial
dan sebagainya.
- Mencukupkan diri dengan satu aliran, ustadz, kitab, madzab serta
tidak mau mengakaji aliran maupun kitab karangan di luar madzab yang
dianutnya. Akibatnya ia sering sempit dan picik pikiran ( narrow minded view)
dalam menilai kelompok lain, padahal kelompok lain itu yang berdiri di
atas kebenaran atau sekurang-kurangnya sama-sama dapat dibenarkan.
Misalnya dalam ilmu qira`at terdapat 7 versi bacaan yang sama-sama diakui sebagai qira`at
mutawatir yang dibenarkan untuk diamalkan. Namun dalam sebuah kejadian
ada seorang imam masjid disalahkan jamaahnya karena ada bacaannya yang
didengar janggal oleh jamaah, karena kebetulan imamnya membaca dengan qira`at lain. Seumpama bacaan maliki yaumiddin, ma
boleh dibaca pendek ataupun panjang. Namun karena si makmum hanya tahu
satu jenis bacaan akibatnya ia menyalahkan bacaan imamnya.
Khilafiyyah adalah Rahmat
Perbedaan pendapat dalam masalah
furu’ merupakan rahmat, dan orang yang terlibat di dalam perbedaan ini termasuk
ahl rahmat. Demikian ditegaskan syekh Yusuf al-Qardhawi.
Sebuah hadis yang cukup terkenal yang dijumpai dalam
Kitab al-Jami’ ash-Shaghir karya as-Suyuthi menyatakan,
“ Ikhtilaf umatku adalah merupakan sebuah rahmat”( HR Baihaqi).
Syekh Yusuf al-Qardhawi mengomentari hadis ini dengan mengatakan bahwa
hadis ini cukup masyhur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak
memiliki sanad yang jelas, akan tetapi dari segi matan beliau
mensahihkannya.
[4]
Menurut hemat penulis, maksud atau terjemah hadis tersebut perlu
disisipkan dengan kata ‘seharusnya’ sehingga berbunyi, “ Perbedaan
pendapat di kalangan umatku (seharusnya menjadi) rahmat. Mengapa
demikian, karena dalam kenyataan tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan
pendapat tak selamanya atau tidak selalu mendatangkan rahmat. Perbedaan
pendapat juga sering menjadi laknat, adzab, perpecahan dan permusuhan,
lebih-lebih perbedaan pendapat di bidang politik. Jadi semestinya yang
perlu disadari dan dipahamai adalah, perbedaan semestinya mendatangkan
rahmat, bukan mendatangkan azdab atau laknat.
Na’udzu billah !
Agar perbedaan yang ada menjadi rahmat, maka ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dan dikembangkan terutama oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam perbedaan itu yakni sikap-sikap sebagai berikut :
- Menghindari truth claim ( klaim bahwa kebenaran hanya ada
pada kelompoknya sendiri ) sepihak. Merasa paling benar sendiri
seharusnya dihindari dalam soal-soal khilafiyah, paling tinggi cukup kita merasa benar, tidak perlu sampai merasa paling benar.[5]
- Memahami hakikat perbedaan atau khilafiyyah dengan baik
serta mencontoh adab dan etika yang dicontohkan oleh para imam dalam
menghadapi perbedaan pendapat itu. Juga perlu mempelajari sejarah
kemunculan madzab-madzab, situasi historis dan setting social
yang melingkupi madzab atau munculnya sebuah pemikiran. Dengan
mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, orang akan lebih arif
dan bijak dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat itu.
- Membiasakan mempelajari suatu masalah dari berbagai aliran atau
madzab maupun sudut pandang yang dipakai. Juga mempelajari bagaimana
kerangka berpikir dan model pendekatan yang mereka gunakan mengapa
mereka sampai pada pendirian seperti itu. Model kajian fiqh secara
perbandingan tentu memiliki kontribusi yang besar untuk ini.
- Bersikap terbuka dan toleran serta tidak fanatik dan ekslusif. Siap
dialog dan diskusi serta tidak menutup diri. Biasanya aliran atau
kelompok yang dicap ‘sesat’ salah satu cirinya adalah bersikap ekslusif
dalam arti menutup diri dan tidak terbuka ke dunia luar, fanatik, tidak
toleran dan mudah menyalahkan/menyesatkan/mengkafirkan kelompok lain.[6]
- Mengambil manhaj wasathan atau pertengahan. Ciri umat yang
selamat adalah yang biasa bersikap pertengahan, moderat dan tidak
ekstrim atau berlebih-lebihan atau dalam bahasa agama disebut ghuluw. Tidak liberal atau terlalu bebas mengumbar akal namun juga tidak rigid dan kaku dalam memahami nash. Imam Ali diriwayatkan pernah berkata, “ Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah”.
Juga beliau diriwayatkan pernah berpesan, “ Tetaplah kalian berada
di golongan tengah-tengah, di mana kelompok yang di depan akan mundur
dan yang tertinggal akan menyusul”.
Khilafiyah adalah Tsarwah (kekayaan)
Adanya berbagai macam madzab, aliran, maupun fatwa yang berbeda-beda
berikut perangkat metodologi yang digunakan tak pelak lagi merupakan
sebuah khazanah keilmuan yang tidak ternilai harganya. Berpuluh dan
bahkan beratus kitab fiqh dari berbagai madzab dan masa yang telah
ditulis para ulama dalam rangka menjelaskan hukum agama yang tebal-tebal
dan besar sangat kaya dengan ilmu dan perbedaan.
[7]
Umat yang hidup belakangan dapat menjumpai dan sekaligus menikmati
peninggalan itu dengan menelaah, mengkaji, membanding untuk mengambil
mana yang lebih kuat dalilnya serta yang lebih mendatangkan maslahat
orang banyak. Kita patut bersyukur dan bangga dengan peninggalan yang
amat melimpah ini, walau kita tidak boleh terjebak pada pengkultusan dan
penyucian pendapat-pendapat dalam kitab tersebut.
Koleksi kitab hukum yang ditinggalkan para ulama di masa lalu teramat
kaya dan luas. Kita patut bersyukur, karena sebagian besar kitab-kitab
itu masih dapat dinikmati dan dikaji oleh umat Islam zaman sekarang.
Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya, terutama mahasiswa di lingkungan
Perguruan Tinggi agama Islam dan para santri di
ma’had-ma’had Ali.
Adab menghadapi khilafiyyah
Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam
fiqh al-Ikhtilaf menjelaskan landasan moral yang perlu diperhatikan dalam mengahadapi perbedaan pendapat adalah :
- Ikhlas karena Allah dan menghindari hawa nafsu.
- Meninggalkan fanatisme, baik terhadap tokoh, madzab maupun golongan.
- Berprasangka baik dengan orang lain.
- Tidak memvonis dan mencela.
- Menjauhi debat kusir dan pertengkaran
- Dialog dengan cara-cara yang terbaik.
Perhatikan dan camkan sikap-sikap diatas, lalu bandingkan dengan
sikap yang ditunjukkan sebagian elit atau tokoh agama kita yang sering
diperlihatkan kepada umatnya. Akan terlihat jelas seberapa jauh ada
persamaan dan perbedaannya.
Khilafiyyah yang tercela
Yakni
khilafiyyah yang :
- Perbedaan pendapat yang motifasinya penentangan, kedengkian dan hawa
nafsu. Bukan dalam rangka mencari yang paling mendekati kebenaran dan
lebih maslahat. Atau motifasinya mencari ketenaran dan nama besar, atau
karena ada sponsor tertentu.
- Perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan dan permusuhan umat.
Karenanya harus disadari bahwa perbedaan tak seharusnya menyebabkan
perpecahan, namun kelolalah agar perbedaan itu nebjadi rahmat dan
menguntungkan umat.
Taqrib Bainal Madzahib
Pendekatan antar madzab
(taqrib baina al-madzahib) maksudnya
upaya-upaya yang dilakukan untuk mendekatkan atau mengurangi
perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah fiqih antara satu madzab
dengan yang lainnya. Kalau ingin menghapus dan meleburkan berbagai
madzab menjadi satu madzab rasa-rasanya tidak mungkin kalau tidak ingin
menggunakan kata mustahil. Karena usaha untuk mengajak dan menyatukan
madzab pada akhirnya malah menimbulkan madzab baru di tengah-tengah
masyarakat. Jadi ajakan sebagian saudara kita untuk kembali bersatu
dalam satu pemahaman agama termasuk fiqh di dalamnya adalah sebuah
ajakan yang sulit terwujud atau katakanlah mustahil terjadi.
Sebagaimana kita telah ketahui bersama, bahwa perbedaan pendapat
sudah ada pada masa sahabat Nabi saw, bahkan pada masa Rasulullah saw
sekalipun benih-benih perbedaan itu sudak mulai tampak. Namun Rasulullah
saw dengan otoritasnya yang penuh dan satu-satunya yang ditunjuk Allah
sebagai pembuat dan penetap tasyri’ sanggup menangani dan menengahi
perbedaan itu sehingga tidak melebar dan meruncing. Parasahabat akan
tunduk dan patuh
( sam’an wa tha’atan) terhadap keputusan Nabi itu.
Namun di era setelah wafatnya Rasulullah saw, otoritas tunggal dan
mutlak itu telah tiada, yang pada gilirannya perbedaan itu semakin nyata
dan lebar antara satu sahabat dengan yang lain, karena sahabat atau
ulama yang satu tidak mesti terikat atau mengikuti pendapat orang lain.
Namun perlu diingat perbedaan ( dalam masalah fiqh) itu masih dalam
batas-batas yang wajar dan tidak sampai menimbulkan perpecahan.
Perbedaan dan perpecahan yang tidak menguntungkan terjadi bermula dari persoalan politik khususnya dalam persoalan
imamah atau
kursi khilafah pasca Rasulullah saw. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar
dan Umar, perpecahan itu bisa diredam untuk beberapa waktu sampai
separuh pemerintahan Usman. Namun di separuh sisa pemerintahan Usman,
persatuan umat mulai goyah dan terancam. Akibat dari beberapa kebijakan
Usman yang tidak popular dan dinilai tidak adil, serta dituding
melakukan praktek nepotisme, sekelompok umat Islam merasa tidak puas dan
mengajukan protes. Akibat kekesalan yang memuncak akhirnya terjadi apa
yang dalam sejarah disebut dengan
fitnah kubra berupa
terbunuhnya khalifah Usman. Di saat inilah perpecahan itu tampak semakin
nyata khususnya antara pendukung Ali bin Abi Thalib (Bani Hasyim ) dan
pendukung Usman (Bani Umayyah).
Tampilnya Imam Ali menjadi khalifah walau beliau diakui sebagai orang
yang paling pantas dan layak untuk itu tidak serta merta mampu meredam
perpecahan yang sudah terlanjur terjadi. Ketidakpuasan para pendukung
Usman yang dimotori oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan akan kepemimipinan Ali
memuncak dengan pecahnya perang Shiffin. Tidak hanya itu, Imam Ali juga
harus berhadapan dengan penentangnya yang lain yakni isteri Nabi saw
Aisyah dan kemenakannya Zubair bin Awwam yang mengangkat senjata lalu
pecahlah perang Jamal. Maka perpecahan di bidang politik semakin nyata
dan jelas.
Kembali ke perang Shiffin yang sebetulnya dimenangkan pihak Imam Ali,
namun karena kelihaian atau lebih pasnya kelicikan Mu’awiyah dan Amru
bin Ash yang mengajukan
tahkim (arbitrase) ketika tahu pasukannya terdesak dan hampir kalah. Dari hasil
tahkim ini posisi Ali di
ma’zulkan sedang Mu’awiyah sebagai pemberontak dinobatkan sebagai khalifah oleh Amr bin Ash. Hasil dari
tahkim
melemahkan posisi Imam Ali terbukti dengan keluarnya sebagian
pasukannya yang kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij yang jumlahnya
tidak sedikit. Di saat inilah muncul paling sedikitnya tiga kelompok
atau
firqah umat Islam yakni apa yang disebut jumhur yang pada
umumnya memilih netral dalam pertikaian ini, Khawarij yang menyatakan
keluar dari barisan pendukung Imam Ali serta Syi’ah yang tetap setia
membela dan mendukung Imam Ali.
Maka tak ayal lagi perbedaan dan perpecahan itu semakin tajam.
Perbedaan yang terkadang sampai berlanjut ke pertumpahan darah itupun
tidak hanya dalam persoalan politik, namun juga merembet dan meluas ke
persoalan aqidah dan tentu saja masalah
furu’ atau fiqh.
Masing-masing memiliki sejumlah doktrin, dogma maupun ajaran dan
kepercayaan serta sejumlah aturan fiqh yang berbeda satu sama lain.
Jika perbedaan masalah politik dan aqidah sering berujung pengkafiran
dan terkadang sampai ke pertumpahan darah, perbedaan dalam masalah fiqh
tidak sebahaya dan separah perbedaan dalam masalah politik dan aqidah.
Pada masa sahabat, tabi’in dan imam-imam madzab perbedaan dalam
persoalan fiqh tidak menyebabkan mereka berpecah belah dan saling
menyalahkan satu sama lain. Bahkan mereka mencontohkan serta memberikan
tauladan yang terpuji bagaimana menyikapi perbedaan pendapat dalam
soal-soal
furu’iyyah itu.
Namun pada era pasca terbentuknya madzab-madzab, gejala fanatisme
buta dan membela madzabnya masing-masing sudah menjalar di kalangan umat
khususnya para ulamanya, berangsur-angsur fiqh Islam mengalamai
stagnasi dan kejumudan. Kebebasan berpendapat mengalami
pembatasan-pembatasan, pintu ijtihad dinyatakan telah tertutup, sehingga
daya kritis ulama mengalami penurunan drastis. Mereka merasa cukup dan
mencukupkan diri dengan madzab empat yang sudah ada. Gejala taqlid dan
fanatisme madzab menjadi pemandangan umum hampir di seluruh
negeri-negeri muslim. Pendapat dan fatwa dari ulama madzab mereka
terdahulu dianggap sudah final dan harus diikuti tanpa boleh mengajukan
kritik apalagi koreksi.
Saking fanatiknya ulama pada madzabnya seorang ulama pengikut madzab Hanafi bernama al-Karkhi pernah berkata
,” Setiap ayat dan hadis yang bertentangan dengan madzab kami (Hanafi) dapat ditakwil atau dinasakh”[8].
Sungguh ini merupakan ucapan yang sangat berlebihan, yang semestinya
tidak diucaplan oleh orang yang dianggap sebagai ulama. Ulama yang
fanatik kepada madzab yang dianutnya menjadikan ukuran kebenaran tidak
lagi al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan fatwa ulama madzabnya.
Pada kesempatan yang lain, salah seorang tokoh ulama madzab Hanafi
juga memfatwakan, “ Barang siapa yang berpindah ke madzab Syafi’I, maka
ia harus di hukum
ta’zir”. Subhanallah !, berbeda madzab atau
berpindah madzab sampai dihukumi sebagai sebuah kejahatan atau kriminal
yang pantas dipidana.
Pada era pasca imam madzab, terjadi juga kekacauan-kekacaun ilmiah
dalam persoalan fiqh, di mana banyak orang yang kurang ahli dalam fiqh
menjadi qadhi dan sebagian ada yang berfatwa dengan pemahaman yang
kurang. Akibatnya tentu kurang menguntungkan umat. Dalam satu kasus
terdapat dua atau lebih fatwa yang saling bertentangan. Maka tak terlalu
mengherankan jika sebagian kalangan yang mengkhawatirkan ini mulai
meyerukan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dan kaum muslimin hendaknya
mencukupkan diri pada hasil ijtihad yang sudah ada dari Imam madzab
yang empat yang kebenarannya lebih terjamin. Seruan ini disatu sisi
memberi manfaat agar orang yang tidak ahli dalam melakukan ijtihad
tidak serampangan berfatwa, dan kebingungan serta kekacauan masyarakat
akibat beragam fatwa yang simpang siur bisa dikurangi. Namun di sisi
lain hal ini merupakan sebuah “bencana’ keilmuan dimana orang dipaksa
untuk mengikuti begitu saja terhadap hasil pemikiran ulama terdahulu.
Kondisi yang kurang sehat ini berlangsung terus sampai cukup lama
sampai akhirnya muncul tokoh-tokoh pembaharu yang mendobrak kebekuan
berpikir dan tertutupnya pintu Ijtihad. Gaungnya dimulai sejak masa Ibnu
Taimiyah pada abad VIII H yang disambut oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
di SaudiArabiapada abad XIII H. Muncul juga tokoh dari ulama Syi’ah
Zaidiyah Muhammad asy-Syaukani dari Yaman yang menyerukan dengan lantang
akan arti pentingnya berijtihad dan tercelanya taqlid.
Di Mesir muncul Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan muridnya
Muhammad Rasyid Ridha yang semakin mengobarkan perlawanan terhadap
taqlid dan menyerukan ijtihad. Lewat Majalah al-Manar,
pemikiran-pemikiran Abduh yang segar, rasional dan bebas menyeruak ke
penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Inti dari seruan kelompok
pembaharu ini adalah ajakan menghidupkan kembali semnagt berijtihad yang
telah lama mati atau dimatikan, memerangi taqlid dan menyerukan
kebebasan berpikir tanpa terkungkung oleh pemikiran para pendahulu.
Seruan Abduh cukup berhasil khususnya di lingkungan perguruan tinggi
agama tertua al-Azhar di mana ia sendiri aktif di dalamnya sebagai
pengajar. Kebiasaan mempelajari madzab hanya satu paham mulai
ditinggalkan dan mulai dirintis kajian fiqh lintas madzab bahkan tidak
hanya madzab di kalangan sunni namun juga yang di luar sunni termasuk
Syi’ah. Di al-Azhar sendiri dibuka jurusan
muqaranah al-madzahib yang membekali mahasiswanya tidak hanya satu madzab namun lintas madzab.
Di samping itu, sebagaimana dinyatakan Syekh Syaltut, pemerintah
Mesir merasakan perlunya menengok madzab lain dan berangsur-angsur
mengambilnya dalam penyusunan UU disamping kepada madzab Hanafi yang
menjadi madzab resmi negara, juga madzab-madzab empat lainnya bahkan di
luar sunni sekalipun. Kondisi seperti ini dimulai sejak tahun 1929.
[9]
Peran selanjutnya dimainkan oleh Syekh Musthafa al-Maraghi, rektor
al-Azhar University, yang dalam salah satu tulisannya menyatakan
perlunya ijtihad yang dilakukan oleh ulama Mesir yang memenuhi syarat
untuk berijtihad dan haram bagi mereka jika bertaqlid. Beliau juga
menegaskan kebolehan mengambil madzab-madzab yang empat dan bahkan
madzab di luar Sunni sekalipun.
Al-Maraghi tercatat sebagai orang pertama yang menguslkan perlunya
mata kuliah perbandingan madzab di fakultas-fakultas al-Azhar, dan usul
itu diterima dengan baik dan menjadi mata kuliah tingkat empat fakultas
Syari’ah kala itu.
[10]
Dari al-Azhar yang sering dijadikan ‘qiblat’ pendidikan Islam di
dunia muslim, hampir semua perguruan tinggi Islam di seluruh dunia saat
ini menjadikan mata kuliah perbandingan madzab sebagai mata kuliah wajib
khusunya di fakultas Syari’ah. Bahkan di Indonesia di lingkungan IAIN
ada jurusan sendiri yakni jurusan perbandingan madzab dan hukum di bawah
naungan fakultas Syari’ah.
Sementara di jurusan lain, seperti jurusan/fakultas tarbiyah
diberikan mata kuliah perbandingan madzab dengan bobot 2 sks. Dengan
dipahaminya segi-segi yang diperselisihkan dan sebab-sebab perselisihan
itu, diharapkan kelak ketika mereka menjadi guru dan terjun
ditengah-tengah masyarakat sanggup menjembatani berbagai perbedaan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan mampu memerankan posisi sebagi
hakim yang adil , bijak dan arif. Bukan sebaliknya malah mengeruhkan
suasana dan memihak secara buta pada salah satu pendapat.
* Penulis adalah Dosen Mata Kuliah Perbandingan Madzhab STAIN
Pekalongan. Alumnus IAIN Sunan KalijagaYogyakartaProgram Studi Hukum
Islam ( Syari’ah), HP : 0813 2620 7086
[2] AW. Munawwir,
Kamus al-Munawwir, hlm 363.
[3]
Di kalangan orang awwam, ketika mereka menanyakan hukum suatu masalah
kepada ustadz atau kyai, sering menggunakan kata-kata, “ Mana yang benar
antara pendapat ini dan itu, antara organisasi A dan B, antara kyai C
dan D dan seterusnya”. ‘Celakanya’ sang ustadz yang ditanya terjebak
dengan pertanyaan itu dan latah menjawab dengan perkataan, “ Yang benar
adalah pendapat ….”. Dengan pertanyaan model seperti itu, dan jawaban
juga seperti itu, maka sadar atau tidak sebenarnya telah menyebarkan
benih-benih
ta’ashub merasa benar sendiri. Semestinya kita
mengajari dengan sebuah pertanyaan yang lebih bijak misalnya dengan
menggunakan redaksi, “ Mana di anatara dua pendapat itu yang lebih kuat
dalilnya, atau manakah diantara pendapat-pendapat itu yang lebih
maslahat dan didukung dalil yang kuat” ,dan pertanyaan-pertanyaan
sejenisnya. Sedang ketika menjawab, sang ustadz dapat menggunakan
kata-kata seperti, “ Sepanjang yang saya ketahui, bahwa pendapat yang
lebih kuat dalilnya adalah ini dengan alasan-alasan ini, ini, ini.”.
Atau dengan kata-kata, “ Berdasarkan pendapat ulama A beliau menguatkan
pendapat ini, sedang berdasar ulama B, pendapatnya seperti itu. Setelah
kami teliti sesuai dengan kemampuan kami, maka pendapat yang lebih
mendekatai kemaslahatn dan didukung dalil yang kuat adalah pendapat C”.
Jawaban seperti ini lebih ‘sehat’ dan maslahat khususnya dalam
menciptakan iklim toleransi antar umat yang berbeda pemahaman.
[4] Yusuf al-Qardhawi,
Ash-Shahwah al-Islamiyyah, alih bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,
Fiqh al-Ikhtilaf,Jakarta: Rabbani Press, tt. Hlm. 70.
[5] Truth claim
ini juga sering terjadi di kalngan oraganisasi-arganisasi kegamaan
tertentu. Mereka mengatakan kepada jamaahnya bahwa satu-satunya kelompok
yang selamat dan berhak masuk surga adalah kelompoknya sendiri, yang
lain salah dan sesat serta akan masuk neraka. Padahal sudah terang bahwa
surga seluas langit dan bumi, kalau hanya duhuni kelompok itu saja yang
Cuma sedikit pengikutnya, bukankah surga menjadi ‘mubadzir’?. Tidak
hanya itu kelompok yang lain kadang dikatakan sesat, ahli bid’ah, ahli
neraka dan kadang-kadang menganggapnya telah kafir. Jadi seolah-olah
tokoh kelompok ini telah diangkat menjadi ‘panitia akhirat’ yang boleh
mentapkan siapa-siapa yang selamat masuk surga dan siapa-siapa yang
sesat sehingga harus masuk neraka.
[6] Sebagian ulama menjelaskan bahwa sebagian dari ciri orang atau golongan yang selamat dalam beragama kalau mereka bersikap : 1)
Tawassuth, yakni mengambil jalan tengah dari dua kutub pemikiran atau sikap yang ekstrim, 2)
Tawazun, yakni sikap berimbang dalam banyak hal, seperti imbang anatara dunia dan akhirat, imbang antara jasmani dan ruhani dsb. 3)
I’tidal, yakni bersikap adil dan lurus dalam menghadapi suatu hal. Tiga ciri inilah yang biasa dikembangkan di kalangan Sunni.
[7] Kitab-kitab fiqh yang tebal dan besar dan biasanya menjadi rujukan penganut madzab misalnya kitab
al-Mughni karya Ibnu Qudamah dalam madzab Hanbali,
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab karya an-Nawawi dalam madzab Syafi’I,
al-Hidayah dalam madzab Hanafi,
al-Mudawwanah al-Kubra dalam madzab Maliki. Sedang kumpulan fatwa yang paling tebal adalah
Majmu’ah al-Fatawa
karya Ibnu Taimiyah setebal 36 juz yang kalau dijajarkan setebal
hampir satu meter. Untuk mengetahui kitab-kitan fiqh apa saja yang
sernig dirujuk oleh masing-masing madzab lihat
Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I,Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid II, hlm. 345-348.
[8] Lihat Sayyid Sabiq,
Fiqh as-Sunnah, Jilid I, hlm. 13.
[9] Mahmud Syaltut dan M Ali as-Sayis,
Muqaranat al-Madzahib fi al-Fiqh, alih bahasa Ismuha,
Perbandingan Madzab dalam Masalah Fiqh, Cet. VIII, Jakarta : Bulan Bintang, 1996, hlm. 15.