Pages

Friday 21 November 2014

Manajemen Waktu Dalam Islam

Syiar Islam menempatkan ibadah ritual pada waktu-waktu tertentu dalam sehari dari siang hingga malam dan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Shalat lima waktu diwajibkan dari memulai hingga mengakhiri aktivitas dalam sehari, dan waktu-waktunya selaras dengan perjalanan hari. Agar menjadi panduan dan sistem yang baku dan cermat dalam menata kehidupan islami.
Dalam ajaran Islam, ciri-ciri seorang muslim yang ideal adalah pribadi yang menghargai waktu. Seorang Muslim tidak patut menunggu dimotivasi oleh orang lain untuk mengelola waktunya, sebab hal itu sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu sebagai salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan, sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan ayat 62 yang berbunyi: “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”

Di samping itu, juga berfungsi untuk mengukur detik-detik sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Bahwa siang itu untuk bekerja dan malam untuk istirahat. Dan setiap siang hari dan malam yang kita jalani adalah untuk ibadah semata-mata karena Allah swt.

Dalam sejarah Rasulullah saw. dan orang-orang Muslim generasi pertama, terungkap bahwa mereka sangat memerhatikan waktu dibandingkan generasi berikutnya, sehingga mereka mampu menghasilkan sejumlah ilmu yang bermanfaat dan sebuah peradaban yang mengakar kokoh dengan panji yang menjulang tinggi. Jika kita sadar bahwa pentingya manajemen waktu, maka tentu kita akan berbuat untuk dunia ini seolah-olah akan hidup abadi, dan berbuat untuk akhirat seolah-olah akan mati esok hari. Di dalam surah Al-Mu'minuun ayat 1-3 Allah menyatakan: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna”. Sementara itu, dalam haditsnya, Rasulullah selalu menanamkan bahwa, “Salah satu kebaikan seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.”

Dari perintah-perintah Allah saw. dan sejarah perjalanan hidup Rasulullah terkandung hikmah yang dalam bagaimana kita sebagai orang muslim harus menata waktu dengan sebaik-baiknya. Allah swt. telah menunjukkan kepada kita dengan penataan waktu shalat, perjalanan siang dan malam yang sudah tertata dengan baik dan terencana. Itu semua menjadi petunjuk bagi kita bagaimana harus menata waktu ini dengan satu perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dan kemudian melakukan muhasabah sesudah pelaksanaannya, yaitu evaluasi diri atas apa yang telah kita lakukan.

Yang Harus Diperhatikan dalam Perencanaan
Sebelum membuat perencanaan, ada enam hal yang harus kita perhatikan, yaitu:


1. Niat yang Kuat
Niat sama artinya dengan motivasi yang kuat. Tanpa adanya niat, kita tidak akan pernah berhasil dalam beramal. Tahun, bulan, atau hari tidak akan pernah menjadi tahun, bulan, atau hari yang berprestasi, seandainya kita tidak berniat untuk mengisinya dengan amal terbaik. Dan niat seorang muslim adalah melakukan amal ibadah setiap waktu karena Allah swt. Jika itu yang kita lakukan, semuanya akan memiliki nilai ibadah.


2. Memiliki Tujuan yang Jelas
Tujuan, cita-cita, atau segala sesuatu yang ingin kita capai. Tanpa adanya tujuan yang jelas, kita tidak akan fokus melangkah. Makin tidak jelas tujuan dan waktu pencapaiannya maka peluang gagalnya rencana kita akan makin besar. Dan tujuan kita melakukan amal ibadah dalam mengisi waktu-waktu kita adalah berharap ridha Allah swt.

Pelajari pula teknik membuat rencana dan segera membuat rencana yang matang dan teruji. Buat program dalam bentuk rencana harian, mingguan, dan bulanan.

Di sini penting pula memahami skala prioritas, mana yang harus didahulukan, dan mana pula yang bisa ditunda, mana yang harus di kerjakan, mana pula yang tidak. Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Fikih Prioritas, mengungkapkan urutan amal yang terpenting diantara yang penting. Patokannya :
-Sangat Penting dan Sangat Mendesak dikerjakan pada urutan Pertama.
-Tidak Penting dan Sangat Mendesak dikerjakan pada urutan Kedua.
-Sangat Penting dan Tidak Mendesak dikerjakan pada urutan Ketiga.
-Tidak Penting dan Tidak mendesak dikerjakan pada urutan Keempat.


3. Buat Rencana Cadangan
Kita pun harus selalu siap dengan segala kemungkinan tak terduga. Kita merencanakan, tapi Allah yang menentukan. Karena itu, buat rencana B dan C sebagai rencana cadangan jika rencana utama mengalami kegagalan. Insya Allah kita tidak akan kehilangan waktu untuk panik.


4. Rencana atau Program Harus Realistis, Terukur, dan Adil
Hindari membuat rencana yang terlalu tinggi, tidak realistis, dan terlalu sulit dicapai. Program kita pun harus adil dan seimbang. Sebab kita harus menunaikan banyak hak, di mana setiap hak menuntut pemenuhan. Ada hak Allah, hak keluarga, dan hak akal, hak tetangga, hak badan, hak diri.


5. Disiplin dalam Rencana.
Sehebat apapun program dan rencana, tidak akan berarti sama sekali jika kita tidak disiplin melaksanakannya. Karena itu, jangan tergiur oleh kegiatan, kesenangan spontan, atau apa saja yang akan menjauhkan kita dari rencana yang telah disusun.

Selain itu, yang tak kalah penting, lawan dan kalahkan rasa malas. Tidak ada amal yang terlaksana jika kita malas. Malas adalah kendaraan setan. Malas tidak akan mendatangkan apapun, selain kerugian dan kesengsaraan. Ada satu prinsip, “Tiada Prestasi tanpa Disiplin”. Siapa lagi yang dapat memaksa kita untuk sukses selain diri kita sendiri.


6. Sempurnakan Setiap Kali Beramal.
Penyempurnaan adalah tahap akhir yang akan menentukan berkualitas tidak amal ibadah yang kita lakukan. Kita akan mendapatkan yang 'terbaik', jika melakukan yang terbaik pula.
Dengan merencanakan apa yang akan kita lakukan hari ini, kita akan berjalan di hari-hari ini dengan baik. Sehingga waktu yang terlewati akan bermanfaat sebagai amal ibadah kita hari ini. 

Berbagai pendapat tentang bahagia "Iradah"

Pekerjaan akal yang paling berat ialah membezakan mana yang buruk dan mana yang baik, serta memahamkan barang sesuatu. Tetapi dengan semata-mata akal saja belum pula cukup untuk mencapai bahagia, kerana akal berhenti perjalanannya sehingga itu. Adapun yang menjadi perantaraan antara akal dengan bahagia, ialah iradah, kemahuan! Walaupun akal sudah lanjut dan tinggi, kalau tidak ada iradah untuk mencapai bahagia, bahagia itu tidak akan trecapai. Iradah adalah kekuatan nafsiah kita, pada kedirian kita, yang tidak dapat berpisah dari hajat hidup. Kalau hajat itu kuat, timbullah iradah, sehingga dapatlah dia menaklukkan segala pengaruh yang mendatang dari luar dan bekas-bekas asing, kalau kehidupan lemah, iradah itu pun jatuh. Kalau iradah jatuh terpengaruhlah diri oleh keadaan sekeliling kita, dan sukarlah mencapai bahagia.

Bertambah besar iradah, bertambah dekat bahagia. Bertambah lembik iradah, bertambah jauh bahagia.

Ilmu kedoktoran moden, telah memasukkan juga ilmu jiwa ke dalam bagian ilmu kedoktoran. Mereka sudah mendapat kepastian bahawa iradah atau kemahuan itu amat besar pengaruhnya bagi jasmani dan rohani manusia. Ramai orang yang baru demam sedikit sahaja, kerana lemah iradahnya, demamnya bertambah larut. Segala macam penyakit mendekat pada dirinya. Ada orang yang baru sembuh dari penyakit yang menimpanya kerana iradahnya kuat. Iradah itu tidak bergantung kepada besar kecilnya tubuh, sedikit atau ramainya orang. Kerapkali orang yang besar dan tegap badannya dapat diperintah oleh orang kecil, kerana iradahnya di kecil itu lebih kuat. Dan ada pula golongan umat beribu-ribu banyaknya tak dapat membantah seorang pemimpin yang memiliki iradah yang kuat.

Kekuatan sugesti yang dipakai oleh para doktor di zaman moden, menunjukkan besarnya pengaruh iradah. Pernah doktor-doktor mengubati orang sakit cuma dengan iradahnya, tidak memakai resep (ubat), sehingga penyakit itu sembuh, hanya bergantung kepada cara, raut muka dan sikap seketika memeriksa penyakit. Tabib-tabib kuno pun tidak memungkiri akan kekuatan ini. Abu Bakar Razi, tabib Arab dan hakim yang mashyur itu berkata:

"Hendaklah tabib memasukkan waham kepada hati si sakit bahawa penyakitnya tidak berbahaya dan dia akan lekas sembuh". 

Ibnu Sina sangat terkenal keahliannya mengubati penyakit dengan sugesti. Tabib moden memperhalus penyelidikan ilmu ini sehingga dapat digunakan juga untuk membedah. Dengan kekuatan iradah, doktor itu berkata kepada pasien yang akan dibedah: "Engkau akan dibedah sekarang juga, tetapi engkau tidak akan merasa sakit".

Lantaran takluknya dan percayanya kepada doktor itu memang dia tidak merasa sakit sedikit juga ketika dibedah.

Kalau si sakit sendiri merasa dalam iradahnya bahawa doktor yang mengubatinya itu pandai dan dia akan lekas sembuh, penyakitnya akan segera lenyap. Tetapi kalau dia kurang yakin, walaupun apa macam ubat yang diminumnya, tipislah harapan akan memberi manfaat. Sebab itu bertambah masyhur nama seseorang lebih kuat iradah orang mempercayainya.

Kelemahan iradah dan kekuatan waham itulah yang menyebabkan takut dan kurang tenang.

Kalau waham itu berbekas pada akal, menjalarlah dia kepada seluruh perjalanan fikiran, angan-angan dan kehendak. Ternyata tandanya pada tubuh kasar, jelas terbayang pada muka. Dia menjadi pucat, ragu-ragu sak wasangka, tidak percaya pada diri sendiri. Kalau dia gembira, lupa akan dirinya. Pucat dan putus harapan jika kecewa. Jantungpun demikian pula, denyutnya berkurang perjalanannya melemah. Lantaran itu perjalanan darah menjadi tak menentu.

Lantaran waham-waham itulah manusia merasai sakit, padahal bukan sakit, menanggung takut dengan tidak ada sebab buat takut. Dengan menguatkan iradah, bolehlah bertahan dan terbenteng diri dari pengaruh luar itu. Dari pengecut berganti menjadi tenang dan sabar. Dari pemalas menjadi seorang yang giat gembira. Dari seorang yang putus asa dan tiada merasa puas dengan keadaannya, menjadi seorang yang merasa bahagia.

Kalau iradah kepada barang sesuatu telah kuat, kita tidak merasa apa yang dikatakan sakit.

Misalnya, seorang pemuda sedang berjalan-jalan dengan gadis kecintaannya. Tiba-tiba datang satu bahaya, misalnya anjing gila mengejar atau kekasih itu diganggu orang. Lantaran dia hendak menunjukkan kesetiaan dan keberanian di hadapan kekasihnya itu, ditentangnya bahaya tidak dipedulikannya apa yang akan menimpa dirinya. Tapi ada pula orang lain, iradahnya tak sekuat itu, dipandangnya pekrjaan itu mencelakan dirinya, lalu dia membiarkan kekasihnya diganggu orang. 

Seorang pemimpin bangsa, kerana sikapnya tidak disetujui oleh musuhnya bila beroleh kekalahan, kerana kalah dan menang itu bergilir, dia dihukum bunuh. Dia naikkan ke tiang gantungan. Kerana dari bermula iradahnya telah kuat, tidaklah dipedulikannya bahaya atau mati yang ada di hadapannya itu. Ditunggunya kematian dengan gagah. Tetapi orang yang tak ada iradahnya, yang terhukum lantaran hatinya penuh dengan waham yang menyesatkan, sebelum naik tiang gantungan dia telah mati dibunuh oleh takutnya.

Seperti kata Mutanabbi:

"Orang pengecut mati beribu kali, orang berani matinya hanya sekali".

Sebab itu, jika emas mahal harganya kerana emas dipergunakan untuk perhiasan dan kebanggaan diri. Maka iradah adalah lebih mahal dari emas, kerana dengan iradah orang bercita-cita yang tinggi. Cuma sayang, kelakuan manusia ini, lebih takluk kepada kehendak jasmani yang akan hancur dalam liang lahat dan tiada peduli kepada kehendak rohani yang akan hidup selamanya. Padalah kehidupan yang bererti dalam dunia ini ialah bahagia, bahagia yang timbul dari akal yang dapat tercapai melalui iradah (kemahuan). Maka tidaklah sama darjat manusia di atas dunia ini, kerana ada yang kurang akalnya, sebab itu kurang iradahnya sehingga kurang pula bahagianya, bahkan jauh dari bahagia sejak di dunia sampai jasmaninya bercerai dengan rohaninya.

Schopenhauer, ahli falsafah Jerman menyimpulkan alam dan hidup dalam falsafahnya yang terkenal "Alam itu ialah kemahuan".

Berbagai pendapat tentang bahagia "Pendapat Nabi Muhammad Saw"

Sekarang marilah kita selidik bagaimana pendapat Nabi Muhammad s.a.w., dari hal bahagia, setelah kita lihat beberapa pendapat Falsafah Timur dan Barat.

Dari Aisyah r.a., bahawa pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah saw:

"Ya Rasulullah, dengan apakah kelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?".

Rasulullah saw menjawab: "Dengan akal".

Kata Aisyah pula" "Dan di akhirat?".

"Dengan akal juga". Kata baginda.

"Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadatnya?". Kata Aisyah pula.

"Hai Aisyah, bukankah amal ibadat yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar ketinggian darjat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka".

Sabda Rasulullah pula:

"Allah telah membagi akal kepada tiga bagian, siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.

Orang bertanya: "Ya Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?".

Kata baginda: "Pertama baik makrifatnya dengan Allah, kedua baik taatnya bagi Allah, baik pula sabarnya atau ketentuan Allah".

Berkata setengah Hukama:

"Tiap-tiap sesuatu di dalam alam ini ada batas perjalanannya. Tetapi akal tidak terbatas, adapun manusia bertingkat-tingkat di dalam darjat akalnya, laksana darjat wangi dari tiap-tiap bunga.

Dari sabda Nabi itu, dapat kita ambil kesimpulan bahawa darjat bahagia manusia itu menurut darjat akalnya, kerana akallah yang dapat membezakan antara baik dengan buruk, akal yang dapat mengagak-agihkan segala pekerjaan, akal yang menyelidik hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup dunia ini. Bertambah sempurna, bertambah indah dan murni akal itu, bertambah pulalah tinggi darjat bahagia yang kita capai, sebab itu menurut kehendak hadis tadi kepada kesempurnaan akallah kesempurnaan bahagia.

Akal manusia bertingkat, kehendak manusia berbeza-beza menurut tingkat akal masing-masing. Setengah manusia sangat cinta kepada kehormatan dan kemuliaan, sehingga simpang perjalanan dan segala ikhtiar dipergunakannya untuk sampai ke situ. Ia mahu berkorban, mahu menempuh kesusahan dan kesakitan asal ia boleh encapai kemuliaan dan kehormatan. Pada hal setengah golongan tidak peduli semua itu. Buat dia, asal dapat mencapai hidup, tak mengganggu orang lain, cukuplah. Apa guna menghabiskan tenaga untuk mencapai kemuliaan dan kehormatan yang bagaikan mimpi itu.

Harta benda dunia, sebagian besar manusia berusaha mencari, bersusah payah, menghabiskan tenaga, tidak peduli hujan-panas, haus lapar, kadang-kadang berhilang-hilang negeri, meninggalkan kampung, anak isteri dan handai taulan. Padahal ada pula golongan yang tidak peduli akan harta benda itu, asal hatinya tenteram di dalam khalwat mengingat Tuhannya, sebagaimana kebiasaan ahli-ahli zuhud dan sufi yang masyhur, asal lekat pakaian untuk penutup aurat, dapat sesuap pagi dan petang, cukuplah. Dia juga ignin kekayaan, tetapi kakayaan jiwa. Dia ingin juga kemuliaan, tetapi kemuliaan yang lebih kekal dari harta.

Ada orang lupa siang, lupa malam, lupa kampung dan lupa negeri hanya untuk mencari pangkat, mencari tepuk kuduk (sanjungan), mencari pujian, mencari beberapa keping emas, perak dan tembaga yang akan dideretkan di atas dadanya, yang tergadai, teragun harta benda pusaka nenek moyangnya. Padahal ada pula golongan yang tidak lekat di hatinya segala perhiasan yang tak kekal itu, kerana dipandangnya bahawa segala barang-barang perhiasan dada itu, tak lebih harganya dengan permainan kuda-kuda dan puput anak-anak.

Ada orang yang di mana-mana ingin menonjolkan diri seperti 'ayam putih', di gelanggang. Ingin, terus di muka saja hendaknya, jangan sampai ketinggalan. Padahal ada pula orang yang benci pada segala yang ramai, berniat hendak memisahkan dirinya ke tempat sunyi, supaya tidak bergaul dengan manusia yang ramai ini, yang diikat oleh beberapa kewajipan, yang memenatkan diri. Di tempat sunyi dia bebas mengingat Rabbul Izzati semata-mata.

Segala perbezaan dan perubahan tingkatan pandangan hidup manusia itu, timbul kerana perbezaan tingkatan pendapat akal. Berlainan pendapat kerana berlainan pengetahuan, pendidikan dan berbeza pula bumi tempat tegak. Jika akal itu telah tinggi kerana tinggi pengetahuan (ilmu) dipatrikan oleh ketinggian pengalaman, bertambahlah tinggi darjat orang yang mempunyainya. Kerana sesungguhnya segala sesuatu yang ada dalam alam ini, hakikatnya sama saja, yang berubah adalah pendapat orang yang menyelidikinya. Maka kepandaian manusia menyelidiki itulah yang menjadi pangkal bahagia atau celakanya.

Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka.

Oleh agama perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal pada Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya dan sabar atas musibahNya. Tidak ada lagi hidup di ata itu!

Disinilah timbul kehairanan kita melihat orang yang setiap hari menyisir rambutnya, tetapi tak pernah menyisir otaknya, berusaha membusungkan dadanya, tetapi tidak membusungkan hatinya. Digosoknya sepatunya tetapi tidak digosoknya akalnya sehingga ia tak pernah bertemu dengan bahagia, hanya mendengar dari orang ke orang, dari mulut ke mulut. Ia duduk dekat orang yang bahagia, tetapi dia jauh dari bahagia. Ada lurah yang dalam membatas mereka, padahal mereka duduk berdekatan.

Kita hairan melihat manusia, yang takut rugi dengan hartanya, tetapi mudah beroleh kerugian, yang lebih besar, iaitu murka Tuhannya. Ia ubati dengan segala cara anaknya yang jatuh sakit, iaitu sakit badan, tetpi tidak dicarkannya ubat jika anaknya mendapat sakit batin, iaitu sakit akal.

Kalau akal ini telah dilepaskan dari segala kungkungannya, hanya dihadapkan kepada Zat Yang Menguasainya saja, kalau telah datang zaman itu, akan datang pulalah perubahan yang besar di dalam peripenghidupan manusia. Terlepaslah manusia daripada ancaman sesama anak Adam, tidak ada lagi tempat takut melainkan Yang Maha Esa jua adanya.

Segalanya barang yang ada di atas dunia ini sama saja harganya, tidak erlebih berkurang. Hanya emas sama dengan tembaga, harga tanah sama dengan rumah batu, harga segulung kertas koran sama dengan harga segulung wang kertas di dalam peti, yang berubah bukan barang itu melainkan penghargaan manusia atasnya. Misalnya yang dekat di hadapan kita sangat cukup. Seorang yang tidak mengerti bahasa Inggeris, buat dia tidak lebih harganya daripada kertas pembungkus gula. Tetapi harga Rp1,000 (satu ringgit) itu, bagi yang mengerti bahasa Inggeris tadi dirasa mahal. Pergilah ke pasar loak (barang terpakai) tuan akan berjumpa dengan karangan filosof dijual dengan timbangan kilogram.

Rokok, walaupun bagaimana mahal, wangi dan menerbitkan nafsu bagi perokok, bagi yang tidak merokok, tidaklah berharga sedikit pun.

Peulis buku ini tidak menghargakan buah-pala yang banyak berserak di bawah batangnya di dalam kebun di dusunnya. Tetapi seketika dia di Makkah sebelum perang, jika ada orang yang hendak menjual kepadanya sepuluh sen sebiji, maulah dia rasanya membeli, kerana sangat ingin. Kemudian bila telah pulang ke kampung, buah pala yang berserakkan di bawah batangnya itu, menengok saja pun dia tak mahu lagi.

Jadi sampai sekarang belum juga dapat orang menentukan, bilakah masanya orang merasa bahagia. Orang rindu akan sesuatu sebelum ada padanya, tetapi bila telah ada, hilanglah kerinduannya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan. Rockeveller seorang yang sangat kaya, sebelum kaya sangat rindu hendak beroleh bahagia dengan kaya. Wangnya yang berbilion sebanyak aliran minyak tanah Socony itu tidak ada harga lagi baginya, yang lebih dirinduinya dan lebih dicintainya serta ia berasa bahagia jika diperolehnya, ialah jika uurnya yang 97 tahun (1973) dicukupkan Allah seratus tahun, menunggu tiga tahun lagi. Tetapi tahun 1973 itu dia mati juga, tak dapat ditebusnya kekurangan yang 3 tahun itu dengan wang berbilion itu!

Di negara Surakarta Hadhiningrat ada seorang perempuan tua, Mbok Suro namanya, sudah satu setengah abad usianya (150 tahun), dan hidupnya sangat miskin. Sudah berkali-kali dilihatnya raja diangkat dan raja mati, dan kerana miskinnya sudah kerapkali dia bosan hidup. Akan lebih berbagagialah dia kiranya, kalau dia lekas mati, namun mati tidak juga datang. Kalau nasib itu boleh menurut kehendak kita, apalah salahnya diberikannya kelebihan usianya itu kepada Rockefeler barang tiga tahun saja, tentu kalau boleh, mahu agakya Rockefeller mengganti kerugian umur itu dengan separuh kekayaannya.

Sebab itu sekali-kali tidaklah bernama bahagia dan nikmatnya jika hati dan khayal kita hanya kita perhubungkan dengan isi alam yang lahir ini, yang harganya hanya menurut keinginan kita. Jangan terlalu diperintah oleh khayal, oleh angan-angan, oleh fantasi, kerana itu jugalah yang memalingkan kita dari bahagia yang sebenarnya tujuan hidup, yang mulanya tangis akhirnya tertawa, dan mulanya pahit akhirnya manis.

Ramai manusia yang diperdayakan oleh cahaya samar ketika dia dalam gelap, perasaannya didahulukannya daripda pertimbangannya. Dia datang kepada cahaya yang baru itu, sampai di sana yang dicarinya tak ada sama sekali. Akan kembali ke tempat asalnya, jalan telah lebh gelap dari dahulu, lantaran ia tak sabar menunggu cahaya yang sejati.

Memang, sebab-sebab buat mencapai bahagia amat banyak, tetapi kita manusia mencari juga yang lain. Dia ada dalam tangan kita, tetapi kita cari yang ada di tangan orang lain kerana yang di tangan orang itu kelihatan lebh indah.

Sekarang mengertilah kita, bahawa segala sesuatu di dalam alam ini baik dan buruknya bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut tinggi rendahnya akal kita. Apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai menulis? Aplah harga Quran bagi seorang atheis (tidak beragama). Apalah harga intan bagi orang gila? Sebabitulah kita manusia disuruh membersihkan akal budi, supaya dengan akal budi kita mencapai bahagia yang sejati.

Thursday 20 November 2014

Bagaimana Membuktikan Kita Bertauhid Dengan Benar?



Ketika menjawab pertanyaan demikian, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahmenjawab:
Membuktikan bahwa kita itu bertauhid dengan benar yaitu dengan ikhlas kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu bahwa ibadah yang dilakukan hanya untuk Allah Ta’ala semata, bukan karena riya dan bukan karena ingin disukai orang. Namun beribadah dengan ikhlas kepada Allah. Ini dalam hal ibadah.
Demikian juga dalam hal rububiyah, yaitu dengan tidak bergantung kecuali kepada Allah, dan tidak meminta pertolongan kecuali kepada Allah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada sepupunya, Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma:
يا غلام إني أعلمك كلمات: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن بالله. واعلم أن الأمة لو اجتمعوا على أن ينفعوك بشيءٍ لم ينفعوك إلا بشيءٍ قد كتبه الله لك، ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيءٍ لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك
wahai bocah, aku akan mengajarimu beberapa kata: jagalah Allah, niscaya ia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu, jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jika sebuah kaum berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kecuali apa yang telah Allah tuliskan bagimu. Dan jika sebuah kaum berkumpul untuk memberimu bahaya, maka mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tuliskan untukmu
Dengan demikian, hendaknya senantiasa meminta kepada Allah agar ditetapkan pada kebenaran dan pada tauhid yang benar. Karena banyak orang yang mereka memiliki kadar minimal dari tauhid, dan mereka juga melakukan hal-hal yang mengikis tauhid.
Saya beri contoh yang banyak di sepelekan di antara manusia: mereka bergantung pada sebab-sebab. Memang benar telah kita ketahui bersama bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan sebab-sebab untuk terjadinya sesuatu. Bagi orang sakit, Allah telah menetapkan adanya sebab-sebab yang membuat ia sembuh. Orang yang bodoh, Allah telah menetapkan adanya sebab-sebab yang bisa menghilangkan kebodohannya. Bagi yang menginginkan anak, Allah juga telah menetapkan adnaya sebab-sebab agar bisa terlahir anak. Demikianlah segala sesuatu berjalan. Namun sebagian orang menggatungkan diri pada sebab-sebab. Sehingga ketika sakit, mereka bergantung secara total pada rumah sakit dan dokter. Sehingga seolah-olah ia menganggap kesembuhan ada di tangan rumah sakit dan dokter. Ia lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang telah menjadikan rumah sakit dan dokter sebagai sebab yang bisa memberikan manfaat pada orang sakit, dan terkadang tidak bisa memberikan manfaat. Jika rumah sakit dan dokter bisa memberikan manfaat, maka itu sesungguhnya merupakan karunia dari Allah dan terjadi atas takdir yang Allah tetapkan. Dan jika tidak bisa memberikan manfaat, maka itu merupakan ketetapan Allah yang adil dan takdir yang Allah putuskan.
Maka tidak sepatutnya, bahkan tidak diperbolehkan seseorang lupa kepada pencipta sebab dan malah mengingat-ingat sebab. Memang, kita tidak mengingkari bahwa sebab-sebab itu memiliki pengaruh kepada hasil. Namun hasil ini terjadi karena izin Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala tentang sihir:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya” (QS. Al Baqarah: 102)
lalu Allah berfirman:
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah” (QS. Al Baqarah: 102)
Maka intinya, membuktikan bahwa kita itu bertauhid dengan benar yaitu dengan mengaitkan hati kita kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam keadaan takut maupun dalam keadaan penuh harap, serta mengkhususkan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah semata.
Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 1/2, Asy Syamilah

Berbagai pendapat tentang bahagia "pendapat orang budiman tentang bahagia"

Ditanyakan orang kepada Yahya bin Khalid Al Barmaky, seorang Wazir yang masyhur di dalam Daulat Bani Abbas. "Apakah bahagia itu, Tuanku?"

Jawabnya:

"Sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud".

Kebahagiaan itu pernah dinyanyikan oleh seorang ahli syair bernama Hutai'ah, demikian:

Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpul harta benda.

Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia.

Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan.

Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa.

Ahli syair yang lain, yang amat masyhur dalam perkembangan agama Islam, iaitu Zaid bin Tsabit, ahli syair Rasulullah s.s.w. berkata:

"Jika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari gangguan masusia, itulah dia orang yang bahagia".

Orang yang berpegang teguh dengan agama, kebahagiaannya ialah pada meninggalkan barang yang terlarang, mengikut yang tersuruh, menjauhi yang jahat, mendekati yang baik. Bahagianya ialah pada mengerjakan agama.

Ibnu Khaldun berpendapat:

"Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan".

Abu Bakar Ar Razi tabib Arab yang masyhur itu menerangkan bahawa"

"Bahagia yang dirasa oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan ubat, cukup dengan mempergunakan aturan makanan saja".

Imam Al Ghazali, orang tua dan kiblat segala tabib jiwa berpendapat bahawa:

"Bahagia dan kelazatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah".

Kata beliau seterusnya:

"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah kita rasai nikmat kesenangan dan kelazatan, dan kelazatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelazatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelazatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah, kerana hati itu dijadikan buat mengingat Tuhan. Tiap-tiap barang yang dahulunya tiada dikenal oleh manusia, bukan buatan gembiranya jika telah dikenalnya. Tak ubahnya dengan orang yang baru pandai bermain catur, dia tidak berhenti-henti bermain, meskipun telah dilarang berkali-kali, tidak sabar hatinya kalau tidak bertemu dengan buah dam papan catur. Demikian pulalah hati yang dihulunya belum ada makrifatnya, kepada Tuhan, kemudian mendapat nikmat mengenalNya, sangatlah gembira dan tidak sabar dia menunggu masa akan bertemu dengan Tuhan itu, kerana kelazatan mata memandang yang indah tadi. Tiap bertambah besar makrifat, bertambah besar pula kelazatan".

Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir, kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat diperkirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah. Bukankah segala kemuliaan alam itu hanya sebahagian dari anugerah Allah? Bukankah segala macam keganjilan dalam alam itu hanya sebahagian yang sangat kecil dari keganjilan Maha Kuasa Allah?

Oleh sebab itu tidaklah ada satu makrifat yang lebih lazat daripada makrifatullah. Tidak ada pula suatu pandangan yang lebih indah dari pandangan Allah. Sebab segala kelazatan dan kegembiraan, kesenangan dan sukacita yang ada di atas dunia ini, semuanya hanya bertakluk kepada sebab pertimbangan nafsu, dan semuanya akan berhenti perjalanannya apabila telah sampai ke batas, iaitu kematian. Tetapi kelaatan makrifatullah bukan bertakluk dengan nafsu, dia bertakluk dengan hati. Maka perasaan hati tidak berhenti sehingga mati. Hati nurani itu tidak rosak lantaran perpindahan hidup dari fana kepada baka. Bahkan bila tubuh kasar ini mati, bertambah bersihlah makrifat itu, kerana tidak ada pengganggunya lagi, sebab kekuasaan iblis, hawa dan nafsu tidak sampai ke sana. Hati nurani itu telah keluar dari alam yang sempit, masuk ke daerah alam yang luas, keluar dari gelap gelita menuju terang benderang.

Kata Imam Al ghazali di bahagian yang lain:

"Kesempurnaan bahagia itu bergantung kepada tiga kekuatan:

a. Kekuatan marah.

b. Kekuatan syahwat.

c. Kekuatan ilmu."

Maka sangatlah perlunya manusia berjalan di tengah-tengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudahkan yang sukar dan membawanya kepada binasa. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang membawa kerosakkan pula. Maka jika kekuatan syahwat dan marah itu ditimbang baik-baikdan diletakkan di tengah-tengah, luruslah perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. demikianlah pula hal marah. Kalau kemarahan itu berlebihan dari yang mesti, kejadian memukul dan mebunuh. Tetapi kalau dia kurang pula daripada yang mestinya, hilanglah diri dari perasaan cemburu (ghairah) dan hilang pula perasaan bertanggungjawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia. Tapi kalau marah terletak di tengah-tengah, timbullah kesaaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut nikmat.

Demikian pula halnya dengan syahwat. Kalau syahwat itu bertambah-tambah, terjadilah fasiq (melanggar perintah Tuhan), onar (huru hara). Kalau syahwat kurang teguh, trejadilah kelemahan hati dan pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengah, timbullah 'Iffah ertinya dapat memerintah diri sendiri dan Qanaah, yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti berusaha.

Kata belau pula:

Di dalam batin engkau ada terkumpul beberapa sifat yang ganjil, sifat kebinatangan, sifat keganasan dan sifat malaikat. Tetapi dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engkau tahu bahawa sifat-sifat yang tersebut tadi bukan kejadian yang asli dari jiwamu, ida hanya sifat-sifat yang mendatang kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan baik-baik dan ketahui pula makanan apakah yang setuju dengan sifat-sifat tadi, untuk pencapai bahagia.

Kebahagiaan sifat kebinatangan ialah makan, minum, tidur dan sebagainya. Kalau engkau dimasuki oleh kebinatangan itu lebih daripada ukuran yang mesti, tentu engkau hanya bersungguh-sungguh memikirkan makan dan minum saja.

Kesenangan dan kebahagiaan sifat ganas ialah memukul dan merosak. Kesenangan dan kebahagiaan syaitan ialah mempedayakan kamu dan menjerumuskan serta menghela. Kalau sifat syaitan itu ada pada engkau, engkau akan memperdayakan orang, menjerumuskan orang kepada kesesatan, menghelah-helah, memutar-mutar duduk perkara, sebab dengan demikianlah tercapai kebahagiaan dan kesenangan syaitan.

Adapun kesenangan dan kebahagiaan sifat malaikat ialah menyaksikan keindahan Hadrat Rubbiyah, keindahan Hikmat Ilahiyah. Marah dan syahwat tidak terpengaruh atas orang yang bersifat begini. Kalau engkau mempunyai sifat dari jauhar asal kejadianmu, sehingga akhirnya engkau tahu, jalan manakah yang harus ditempuh untuk mencari Hadrat Rubbiyah itu, sampai akhirnya engkau beroleh bahagia yang mulia dan tinggi, iaitu musyahadah, menyaksikan keindahan dan ketinggian Maha Tuhan, terlepas dirimu dari ikatan syahwat dan marah. Di sanalah engkau akan mengetahui bahawa syahwat dan kemarahan itu dijadikan Allah atas dirimu, bukan supaya engkau terperosok dan tertawan, tetapi supaya engkau dapat menawannya. Dapatlah keduanya engkau pergunakan jadi perkakas untuk mencapai maksudmu menuju jalan makrifat tadi, yang satu engkau jadikan kenderaan yang lain engkau jadikan senjata, sehingga mudahlah engkau mencapai keberuntungan, bahagia dan kesenangan.

Kalau engkau lihat salah satu anggota kerajaan hati itu melanggar undang-undang hidup, iatu salah satu dari syahwat dan marah, hendalah engkau lawan sepenuh tenaga. Jika dia kalah sekali-kali jangan dibunuh, kerana kerajaan hati tidak akan sentosa kalau keduanya tidak ada lagi. Kalau engkau jalankan resep demikian, tentu akan memperolehi bahagia. Dapat engkau memegang dan mempergunakan nikmat Allah menurut yang semestinya. Tentu pada suatu peringatan kehormatan yang tinggi daripadaNya. Kalau engkau langgar petaruh ini, tentu engau celaka, engkau dapat seksa yang bukan seperti, yang membuat engkau menyesal.

Sekianlah keterangan Imam Al Ghazali.

Dari keterangan beliau itu, maklumlah kita pendirian Imam Al Ghazali, bahawa kebahagiaan itu ialah pada kemenangan memerangi nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebih-lebihan. Itulah yang bernama peperangan besar, lebih besar dari peperangan Badar yang paling besar. Tidak ragu lagi, bahawa orng yang menang dalam peperangan yang demikian, lebih daripada segala kemenangan. Tetapi Nabi kita bersabda, bahawa kembalinya dari perang Badar itu ialah kembali dari perang yang skecil-kecilnya, menempuh perang yang sebesar-besarnya, iaitu perang dengan nafsu.

Maka kemenangan di dalam peperangan dengan nafsu ini ialah induk dari segala kemenangan. Kerana orang yang berperang ke medan perang itu sendiri, ada juga yang mencari nama dan kemegahan. Pada lahir trenama, pada batin amalnya belum tentu diterima Tuhan. Sedang orang yang berperang dengan nafsu itu, kerapkali tidak dilihat manusia kemenangan itu lahirnya, tetapi tertulis dengan jelas di sisi Tuhan.

Berbagai pendapat tentang bahagia "Sebab timbulnya penyelidkan"

Tiga orang bersahabat berjalan di sebuah kota yang ramai, di mana berdiri rumah-rumah yang indah. Tempat tinggal orang kaya, tuan-tuan dan orang-orang yang bergaji besar. Ketika itu hari telah petang, matahari telah condong ke barat, cahaya syafak merah dari barat bergelut dengan cahaya litrik yang mulai menerangi jalan raya. Di antara pergelutan siang dengan malam itu, beberapa orang duduk di muka perkarangan rumahnya bersama anak dan isterinya, sambil membaca surat-khabar yang terbit petang itu ganti istirehat pulang dari pekerjaan. Di atas meja terletak beberapa mangkuk the. Si ibu sedang menyulam, anak-anak sedang bermain kejar-kejaran, di hamparan halaman rumah rumput yang hijau itu.

Alangkah bahagianya orang-orang yang tinggal di sini, kata salah seorang dari ketiga orang bertemasya itu. Lihatlah keindahan rumahnya sangat serasi dengan keindahan perkarangannya, kecukupan perkakasnya bergelut dengan kepuasan hatinya. Di dekat rumah itu kelihatan garasi mobilnya, tentu mobil itu menurut model yang paling baru, gajinya tentu mencukupi untuk belanja dari bulan ke bulan, malah lebih dari cukup.

Seorang di antara ketiga yang bertemasya itu, setelah mendengarkan perkataan kawannya itu, menjawab: Ah, jangan engkau terpedaya oleh kulit lahir, kerana dunia ini hanya komidi. Boleh jadi di balik keindahan perkakas, di balik senyuman dan tertawa itu ada beberapa kepahitan yang mereka tanggungkan, yang tidak diketahui oleh orang lain. Ramai orang yang tertawa, sedang hatinya luka parah. Ramai orang yang tertipu melihat cahaya panas di waktu terik di tanah lapang, disangkanya cahaya itu air. Setelah dia sampai ke sana hanya pasir belaka. Banyak sekali, keadaan yang rahmat dipandang lahir, tetapi pada batinnya laknat.

Kalau begitu apakah erti bahagia itu dan di manakah batasnya?

Seorang mengatakan, bahagia itu didapat oleh orang yang mempunyai kekayaan cukup. Kerana dengan kekayaan, segala yang dimaksud tentu tercapai. Orang kaya di mana dia tinggal, perkataannya didengar, salah-salah sedikit dimaafkan orang saja. Wang adalah laksana manisannya. Sengsara ialah pada kemiskinan, meskipun benar perkataan yang keluar dari bibir, kebenaran itu tidak akan tegak kerana tidak bertulang punggung. Tulang punggung ialah harta. Di dalam satu perhelatan atau pesta sutan-sutan dan baginda-baginda didukkan di kepala rumah. Sedang si miskin harus di muka jenjang saja.

Yang lain mengatakan kemuliaan dan bahagia itu pada nama yang masyhur dan sebutan yang harum, mentereng (gagah), dijadikan orang buah mulut, dipuji ke tengah dan ke tepi. Itulah bahagia, katanya, yang lebih berharga daripada harta-benda, kerana kekayaan dunia tidaklah akan dibawa mati, tetapi 'nama baik' tetap diingat orang.

Buah fikiran ini tiada mahu putus-putus, sebab itu timbullah keinginan menyelidiki lebih jauh. Kita telah dengar bagaimana ukuran bahagia dan kaedah orang. Semua makhluk anak Adam ini rupanya ingin bahagia, bukan saja mengetahui bahagia, tetapi mengecap bahagia.

Seorang tadi mengatakan bahagia itu lantaran banyak harta. Tahukah apa sebab dia berkata begitu? Perkataannya itu rupanya timbul lantaran putus asa. Agaknya kerapkali langkahnya tertarung sebab dia miskin, kerap maksudnya tak berhasil sebab dia fakir. Lalu diputuskannya saja bahawa bahagia itu pada wang, lain tidak. Barangkali juga sudah pernah dikirannya tidak diterima orang padahal benar, tetapi kerana dia tidak punya wang, tidak kaya, lalu diabaikan orang saja. Jadi kaedahnya itu adalah dari hati yang kecewa.

Kalau kita perturutkan, setiap orang mempunyai kaedah tentang bahagia, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan.

* Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan.
* Orang sakit mengatakan bahagia pada kesihatan.
* Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahawa terhendti dari dosa itulah kebahagiaan.
* Seorang yang tengah rindu dan bercinta mengatakan bertemu dengan kekasih itulah bahagia.
* Seorang pemimpin rakyat berpendapat, bahawa kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang dipimpinnya itulah bahagia.
* Seorang perawan dusun bernama Asma binti Bahdad, yang dikahwini oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, berkeyakinan bahawa bahagia itu adalah kembali ke dusunnya, di dalam pondoknya yang buruk, walaupun sekaarang dia dalam istana yang indah.
* Seorang pengarang syair merasa bahagia jika syairnya jadi hafalan orang. Seorang wartawan merasa bahagia jika surat khabarnya dan tulisannya difahami orang.

Kita akan bertambah bingung memikirkan hal ini. Di manakah sebenarnya bahagia itu. Sebab itu kita cari buku-buku yang kita rasa penting, karangan para ahli falsafah, tasauf dan pengalamannya, adakah tersimpan di sana bahagia itu.

Buku-buku itu bertemu, kita kumpulkan keterangannya menjadi satu. Kita susunkan menjadi suatu karangan, untuk menjadi suluh penuntut bahagia, tetapi bahagia tak ingin bertemu.

Maka adalah kebahagiaan yang kita cari itu terlalu tinggi. Kita semuanya hanya mengumpulkan pendapat orang lain, kerana demikianlah kita ini di dalam hidup. Kadang-kadang pendapat mereka itu belum pernah dirasainya, hanya di angan-angannya begitulah agaknya. Kadang-kadang pula telah dirasainya, tetapi tak sanggup dia melukiskan secara terperinci, kerana tidak mudah bagi manusia menerangkan segala kelazatan yang dirasainya. Tetapi dengan membaca pendapat-pendapat para ahli itu, moga-moga terubatlah hati kita, timbul keinginan menuju ke sana, dan tercapailah oleh kita bahagia, walaupun tidak seluruhnya, sebahagiannya pun cukuplah.

Dasar Ajaran Tasawuf

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*

*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan

Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut.

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja -sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.

Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.

Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)

Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).

Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.

Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:

Kedudukan para Nabi di alam Barzakh

Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali

Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).

Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.

Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.

Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu),dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.

Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).

Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…

Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)… yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).

Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.